Senin, 30 Mei 2011

FENOMENA DAN MAKNA : SENI BUDAYA ISLAMI DALAM KEHIDUPAN

Obyek seni budaya Islami pada manusia ada di dalam hatinurani. Setiap manusia atas Titah Yang Maha Kuasa dibekali hatinurani yang bersemayam di dalam karakter (jiwa). Hal itu dimaksudkan dengan dimenij hatinurani, karakter (jiwa) manusia sebagai misi khalifah dunia dapat mengemban tugas hidupnya dengan prima sesuai kodrat nilai-nilai akhlakul karimah.

Oleh karena itu nilai akhlakul karimah pada tiap manusia sebagai personal hidup tidak dapat dinafikkan dalam kehidupan. Selain merupakan tempat aplikasi bagi hatinurani, maka akhlakul karimah merupakan bekal untuk dibanggakan kepada seluruh kaum manusia bahwa dirinya dalam predikat “Amat Pantas Jadi Figur” manusia hidup. Hal itu oleh Allah SWT telah dibuktikan sejak awal diciptakannya alam semesta beserta isinya, dimana Allah SWT selalu memberi Risalah dengan mengutus para Nabi dan tokoh-tokoh pembaharu lainnya sebagai figur yang berakhlak terpuji nan mulia untuk diteladani demi tegaknya dunia dalam proses keseimbangan menuju keharmonisan.


Hatinurani itu suci, bersih bagai kilau dengan sinar bening terimplementasi berupa perilaku jujur, sopan santun, rendah hati, berjiwa hening, bersih, tenang, tegar, dinamis, bijak, tawakal dan bertanggungjawab. Oleh karena itu siapapun yang berbuat di luar batas noor hatinurani, dipastikan hatinya keluar dari cahaya noor (nurani), berjiwa kosong dari sumber luhur (Ketuhanan). Karakter hati seseorang yang semata berazaskan sinar noor (nurani) terbukti tidak pernah mengingkari atas sifat aslinya, karenanya orang yang suka melakukan perilaku di luar batas noor, hatinya “selalu saja memberi isyarat” berupa keragu-raguan, penuh pertimbangan, penolakan, tidak nyaman alias tidak pernah terima atas penipuan perilaku badaniah tanpa noor itu.


Hal seperti ini sangat dirasakan dan dipahami oleh setiap orang dalam hidup terutama oleh manusia dalam ukuran umur dewasa. Namun kenyataan masih banyak diantara kaum itu berbuat memaksakan diri tidak peduli atas peringatan, perintah dan kehendak hatinurani yang bersifat luhur itu.


Pengingkaran atas sifat asli hatinurani inilah hingga kini masih menjadi fenomena hidup, disinyalir sebagai ”pemicu” permasalahan yang marak terjadi belakangan ini. Ironisnya maraknya persoalan hidup terjadi ketika dunia tengah dihadapkan dengan dekadensi mutu moral, yang mewajibkan bahwa moral itu menjadi kunci pokok keberhasilan suatu bangsa di tengah persaingan ketat antar bangsa di dunia.


Kemerosotan moral tidak lepas dari bukti indeks pembangunan pendidikan nasional kita masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia. Dampaknya adalah semakin maraknya faham radikalisme saat ini. Sementara pengendalian terhadap diri agar tidak melakukan perilaku menyimpang oleh anggapan sebagian besar masyarakat hanya diusahakan dengan mengikuti pendidikan formal ketika masa sekolah dan sedikit saja di luar sekolah. Agar lebih bermutu diusahakanlah dengan mengikuti pendidikan tinggi yang hanya berpredikat pembinaan bermediakan ucapan, lisan dan tulisan. Padahal efektifitas keberhasilan suatu pendidikan selain berkriteriakan teori yang autentik bersifat padat dan jelas, maka harus mengacu pada system memberikan contoh (teori dan praktek harus berimbang) yang dapat ditiru. Dengan didesainkan bagian sikap (perilaku) yang bisa diteladani oleh setiap generasi penerus sejak awal pembentukan karakternya di dalam kandungan menyusul ke masa anak-anak, ramaja sampai menjadi dewasa.


Jika dikaji sesuai sifat fitrahnya hatinurani itu adalah amanah. Artinya pembentukan karakter dan mental manusia wajib dikembangkan secara komprehenshif. Diawali sejak menyatunya noor (cahaya nurani) itu dengan badaniah si jabang bayi pada saat di dalam kandungan ibunya. Pendidikan diterapkan atas azas kurativ (penerapan awal bersifat antisifasi) dan bukan prenventif (pencegahan setelah proses hidup). Adalah pase pembentukan lebih efektif dilakukan sebelum bayi itu lahir, sebelum hati (jiwanya) terkena akses luar (setelah lahir).


Sebagai usaha preventif pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Setiap anak yang lahir dalam keadaan suci”, tergantung orangtuanyalah menjadikan anak itu yahudi, nasrani atau masusi (Bukhari Muslim).


Oleh karena itu ada hal mendasar perlu diikuti yakni memberikan sentuhan berupa sikap yang halus, penuh kelembutan dan kasih sayang sesuai tuntunan aqidah dan nilai syar’i (Islami). Hal ini menunjukkan betapa agungnya nilai Islami itu yang setelah dikemas ke dalam seni budaya bersifat alamiah (nature) mampu mengkemas pola sikap karakter manusia yang berhatinurani.

Diawali dengan merangsang pengembangan sifat bayi dalam kandungan yang amat dominan dengan potensi noor (sinar Illahiah) dengan rangsangan positif oleh ibu yang sedang mengandung, penuh penjiwaan lahiriah demikian pula oleh orang-oramg sekitarnya.


Rangsangan-rangsangan positif itu diharapkan mampu menggejalakan nilai bernuansa Illahiah yang ada di dalam diri si bayi hingga meresap merasuki jiwanya. Karenanya wajib dilakukan intensif sampai bayi itu lahir. Dengan konsistensitas tinggi diharapkan mampu mendarahdaging sebagai sarana pembentukan karakter insan berhatinurani yang memiliki daya kritis untuk memelihara akal sehatnya. “Dan hendaklah mereka takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka....... (an-Nisa’9).


Melalui pendidikan dalam kandungan diharapkan tetap eksis mempertahankan keluhuran nilai hatinurani sebagai pilter ketika anak-anak, remaja dan dewasa dapat mengolah seluruh akses yang mencoba berinteraksi mempengaruhi pembentukan karakter. Dalam posisi didominasi keluhuran diharapkan efek akses negatif mampu dikendalikan, terhindar akses mengotori jatidiri hatinurani. Hal ini terinspirasi ketika Rasulullah SAW menerima wahyu Tauhid di Gua Hira Makkah yang letaknya di gunung dan tempat-tempat lain seperti di Madinah, umumnya jauh dari akses keramaian. Demikian pula sikap tokoh pembawa dan pembaharu agama lain mengharapkan turunnya wahyu dengan cara selalu mencari tempat sepi, mengasingkan diri jauh ke dalam hutan belantara dalam usahanya mencari suasana sunyi senyap terbebas pengaruh keganasan ancaman sekitarnya.


Oleh karena itu para fakar psikolog di saat ini pun menyarankan agar mengedepankan tindakan (kuratif) jauh sebelum terkena akses negatif sebagai tindakan lebih efektif ketimbang tindakan preventif.

Dengan demikian bagi setiap yang akan lahir diharapkan telah memiliki noor kemaslahatan kahlifah dunia, untuk kelanggengannya diutuslah Rasul atau Nabi agar kehidupan dunia menjadi nyata-nyata indah dan bermanfaat.


Bagi Indonesia bangsa beragama, tentu hatinurani menjadi esensinya kehidupan berbangsa dan bernegara. Percikan halus sebagai fitrah yang bersifat jernih dan suci itu ibarat putih tanpa noda, tanpa coretan, adalah sarinya Rahmat untuk dipelihara dan dipertahankan nilainya sebagai pedoman hidup.


Oleh para ahli gizi pun kemudian menyarankan agar bayi sejak dalam rahim seorang ibu, pertumbuhan jasmani dan rohani (sifat karakternya) wajib mendapat perawatan berupa pembiasaan yang baik dan positif, pertumbuhan physiknya dirawat dengan makanan sehat dan bergizi.


Demikian pula setelah lahir penerapan tersebut tetap prioritas namun disesuaikan ke arah pengembangan keahlian (bakat) yang dimiliki. Tidak lupa dilakukan pendeteksian berkembangnya bakat-bakat baru akibat respons detail. Karena setiap kelahiran punya potensi (bakat) berbeda-beda, memerlukan ketekunan dan kecermatan menyikapi secara dini agar usaha pengembangan potensi bisa dilakukan maksimal sesuai dengan bakat yang dimiliki. Dari sejumlah potensi yang perlu dikembangkan memerlukan suatu ”budaya” (pembiasan) secara maksimal. Proses pembudayaan secara maksimal itu penting karena menjadi landasan potensi bakat untuk tetap melekat pada jiwa (nurani) setiap anak sehingga berwujud Karakter yang Berkeahlian Berbudayakan Nilai Islamiyah”.


Sehubungan dengan hal tersebut terkait upaya merilis siaran media publik berbasis budaya konten lokal pada setiap daerah seharusnya diawali dengan penataan kesiapan mental spiritual tiap personal, pembudayaan ibadah serta muamalah keluarga sebagai masyarakat terkecil yang akan mendesain awal setiap pertumbuhan dan perkembangan anak calon generasi pemimpin bangsa dan negara, setelah kemudian remaja dan dewasa terpelihara atas Risalah dan memelihara lingkungan sekitarnya.


Dengan demikian sejak bayi dalam kandungan kemudian lahir dan berkembang di masyarakat, menjalani kehidupan sebagai manusia selalu berpijak untuk eksistensi pembudayaan nilai-nilai Islamiyah yang memberi makna seni pada lini kehidupan :


1. Pada Era Teknologi Mutakhir misalnya; pembudayaan seni Islami itu akan terekspresi berupa hatinurani berwawasan luas, menumbuhkan dan memperbanyak kebijakan sehingga mempermudah urusan, mempermudah komunikasi, menyamakan persepsi untuk kemudahan hidup bersama.

2. Di bidang perekonomian, seni budaya Islami memancarkan sinar nuraninya untuk berbuat kesejahteraan hidup bersama, tidak ada penindasan terhadap ekonomi lemah, dapat memajukan pendidikan dan derajat kesehatan, jauh dari perbuatan materialistis, hedonisme dan kapitalisme. Rasa kemanusiaan menjadi semakin menebal, bebas kesenjangan sosial, hiba dengan penderitaan dan ketidakberdayaan. Sifat nurani tergetar untuk memberi solusi ke tahap hidup lebih baik.

3. Bidang-bidang lain seperti perikanan, peternakan, kehutanan, perkebunan dan sejenisnya, seni budaya Islami akan mengekspresikan diri dalam bentuk usaha untuk melestarikan seisi alam semesta, menggali, mengembangkan pemanfaatan lingkungan. Mensyukuri dan memanfaatkan apa yang kita miliki, diolah sesuai kemampuan dan kondisi daerah setempat. Hal itu akan menumbuhkan rasa jauh dari ketergantungan, rasa bangga dan percaya pada milik/kekayaan bangsa sendiri adalah senjata menjadikan bangsa Indonesia yang bermartabat. Diyakini bahwa usaha memaksakan diri di luar kemampuan bangsa sendiri adalah beban menjadi siksaan hidup. Hal itu sama dengan mengundi nasib bertentangan dengan tuntunan agama Islam.

4. Pada harta (kekayaan). Manusia sering tertipu karena haus harta (kekayaan), maka missi seni budaya Islami dapat berdakwah dan melalui performennya menginspirasi kehidupan yang sederhana, jujur, rendah hati, legowo, berusaha merubah kehidupan lebih baik, berkarya dengan nilai ibadah dan sebagainya.

5. Bagi kalangan ekonomi kelas atas, hidup bagaikan mahkota bertatahkan emas permata dapat meluluhkan hatinya, bermurah hati, bersikap bijaksana mengayomi dan memperjuangkan yang lemah menjadi lebih maju dan bermakna hidupnya. Sentuhan tahta mahkota dengan unsur seninya yang unik, alami, indah dan berkualitas, melahirkan rupa perhiasan yang indah, elok, berkilau nan rupawan itu mencerminkan pribadi mampu menggugah siapa saja untuk memiliki dan mengikutinya.

Rasa tergugah itu timbul karena dasar kecintaan terhadap seni budaya yang dapat menumbuhkan karakter indah, rapih, unik, ramah-tamah, lembut, sopan/santun.

6. Sebagai umat muslim eksistensi seni budaya Islami wajib mengacu kepada nilai tuntunan agama Islam. Sebagai contoh kegilaan untuk membeli emas permata yang selama ini dipandang sebagai kebanggaan dan kepuasan hidup semata. Hal itu bisa dijelaskan melalui performance seni budaya Islami tentang manfaat dan kegunaannya menurut pandangan agama Islam. Demikian pula manfaat dan peranan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan teknologi menjadi partisipasi yang bisa dijelaskan melalui eksistensi seni dan budaya Islami. Hal itu disebabkan melalui penampilan seni dan budaya Islami dapat mengukur secara nyata perilaku, keimanan dan ketaqwaan seseorang.


Dalam hal ini makna seni terhadap budaya hidup manusia sudah ada sejak awal kehidupan manusia diciptakan Allah SWT dengan tujuan agar budhi dalam hidup dapat diolah, dimanfaatkan sedemikian rupa untuk memperindah interaksi kehidupan antar manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia kepada pencipta-Nya.


Mengekspresikan budhi tanpa diolah dengan kekuatan seni hanya akan melahirkan sifat statis, masabodo, egois, pengkristalan nurani yang berujung sikap kekerasan. Oleh karena itu perlu tuntunan seni Islami sebagai takaran untuk mengolah hatinurani sebagai Qalbu hidup. Sifat seni itu untuk melenturkan, pengolah bentuk menjadi lebih luwes, elastis, dinamis lebih menarik, lebih indah, sehat, memberikan rasa aman dan nyaman.


(Ahmad Ketut Sulatra. Kasi HBI pada Direktorat Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI Jakarta).

Selasa, 29 Juni 2010

Teras H. AKS

Cara Sehat Menulis Artikel di Internet...

“Hati-hati dan Waspada”. Ungkapan demikian tidak pernah lekang pada ranah pemahaman, wacana dan sikap para pemerhati jejaring internet, bagaimana mewaspadai dampak negatif akibat penyalahgunaan internet.
Sikap itu dimungkinkan karena selain pengaruh positif yang ditimbulkan bagi pengguna internet sehat, yang telah memahami dan menyadari betul kegunaan internet itu untuk hal-hal yang positif. Ternyata dihadapkan masih banyaknya kalangan pengguna internet tidak sehat, belum memahami dan tidak menyadari dampak negatif yang ditimbulkan akibat mengankses internet.
Beberapa pengguna nampak semaunya saja mengakses dan berekpresi, mencetuskan dan mengkultuskan apa saja di lahan internet. Karena memang dunia maya, maka seolah dunia miliknya sendiri tanpa syarat. Padahal internet dengan jejaringannya itu hanyalah sebuah alat, hasilnya tergantung niat dan tanggungjawab si pemakai. Jika internet digunakan dengan cara tidak sehat, maka dapat dipastikan merusak si pemakai itu sendiri. Sebaliknya jika digunakan dengan cara-cara sehat (baik dan bermanfaat), maka selain dampak positif bagi si pemakai, ada kemaslahatan pula untuk orang lain.
Sehubungan dengan hal itu mengakses internet itu ada syarat yang harus diperhatikan. Arti penting unsur kehati-hatian dan kewaspadaan agar internet itu tidak memberi dampak negatif terhadap diri sendiri selaku pengguna adalah sangat penting, termasuk ketika anda menulis artikel pada internet. Jejaringan internet yang mengglobal sangat memungkinkan diakses siapa saja. Oleh sebab itu tendensi negatif yang diuraikan tanpa fakta yang autentik memungkinkan si penulis dapat dijerat hukum. Kasus-kasus jeratan hukum akibat penyalahgunaan media internet seharusnya menjadi pelajaran untuk tidak diikuti.
Salahsatu tajuk dipasang oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI pada kajian promosi tentang penggunaan “aplikasi piranti lunak internet filter” memberi saran kepada setiap pengguna internet agar berhati-hati mengakses informasi dari situs yang berisifat negatif, insinuatif (menyindir), provokatif dan bahkan propaganda. Dikatakan bahwa di sana (internet) banyak ajaran sesat atau tidak selaras dengan falsafah bangsa Indonesia bertebaran di internet dan secara agresif mencari mangsa untuk dijadikan calon pengikutnya.
Pada pokok-pokok Materi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) Bab III bagian ketiga ayat (3) huruf a yang merupakan penjelasan dari ayat (1) menjelaskan bahwa Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah informasi yang dapat membahayakan Negara. Salahsatu hal yang dimaksud dengan membahayakan Negara pada penjelasan Undang-Undang itu adalah keselamatan bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan Negara. Lebih lanjut pada bagian keempat Undang-Undang itu menjelaskan tentang Kewajiban Badan Publik pasal 7 ayat (1): Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan / atau menerbitkan informasi publik yang berada di bawah kewenangannya kepada pemohon informasi publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan. Dalam hal ini Badan Publik hanya diwajibkan memberikan pelayanan informasi kepada publik sesuai batas kewenangannya. Dilarang mempublikasikan informasi di luar ketentuan yang berlaku.
Demikian pula diterbitkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) merupakan jawaban atas kepentingan publik di bidang teknologi informasi melalui media dan komunikasi menuju perubahan prilaku social maupun peradaban manusia secara global. Bab VII pasal 7 bagian UU ITE itu menyebutkan beberapa perbuatan yang dilarang antara lain ayat (3): Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Pasal 28 ayat (2): setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Walaupun setelah ditetapkan DPR kemudian dipublikasikan kepada masyarakat isi UU ITE ini menuai pro dan kontra. Ada beberapa pihak melakukan permohonan peninjauan ulang atas hukum yang telah ditetapkan (yudicial review) dengan menyatakan bahwa UU ITE pasal 27 ayat (3) bertentangan dengan bunyi pasal 28 F UUD 1945. Namun pada akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa kedua korelasi UU itu sudah sejalan dengan prinsip-prinsip Negara Hukum dan prinsip-prinsip berdemokrasi, tidaklah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.
Dengan demikian prilaku baik masyarakat secara fundamental di segala lini kehidupan menjadi basik majunya masayarakat dan peradaban. Perilaku negatif, insinuatif (menyindir) dan provokatif menjadi dalangnya penghambat kemajuan peradaban. Promosi bermuatan agama dengan dalihnya untuk mendapatkan pemeluk/pengikut sebanyak-banyaknya sudah saatnya dihentikan. Kini saatnya dunia kita hias dengan berbagai lomba kebaikan dan kebijakan. Pembinaan intern masing-masing penganut agama secara intensif menjadi hak dan kewajiban pembina umat itu sendiri guna kemantapan transformasi nialai-nilai luhur setiap agama itu memancar, menata dan menghiasi indahnya perilaku setiap penganut umat beragama sebagai bukti upaya pencerminan realitas kehidupan.
Dengan dasar pemahaman dan ketentuan nilai-nilai inilah para penulis artikel seharusnya berkreasi. Berdasarkan pemahaman, keyakinan dan kemampuannya bebas mengurai dan memetakan rangkain kata demi kata untuk dikemas menjadi suatu kalimat yang indah, menarik, sopan santun mampu meredam permasalah social yang dapat mengikis sendi-sendi bangsa. Isi artikel dapat memotivasi setiap umatnya untuk tetap memelihara dan mempertebal keimanan dan ketaqwaan, kerukunan intern dan antar umat, menjadi semakin cerdas dan bijaksana, mandiri dalam berkehidupan menuju genggaman sejahtera lahir bhatin.
Oleh karena itu saya menjadi terperangah ketika melihat tayangan yang mengatasnamakan cyber Dharma Indonesia menulis: Jangan beri nama Bali, agar mudah bila pindah dari Hindu. Entah karena memaksa, lupa aturan, rekayasa, faktor kesengajaan atau karena faktor kealfaan penulis artikel itu terhadap nilai-nialai luhurnya, sehingga cyber itu menjadi lahan untuk membahas hal yang kurang etis nama Ahmad Ketut Mecaling Khan dan Gusti Ayu Ketut Jegeg Mecaling yang konon menurutnya, hal demikian dijadikan aneh seolah penomenal. Apapun persepsi penulis artikel itu adalah hak anda untuk mengekpresikan wawasan dan kemampuan daya nalar sepanjang sesuai ukuran dan aturan yang diberlakukan. Namun akan sangat disayangkan jika penulis itu berasal dari kalangan tokoh yang mengatasnamakan lembaga sosial keagamaan resmi di Indonesia. Instansi atau lembaga sosial itu mengemban sebagian tugas pemerintah keagamaan tertentu berhak melegalitas semua perangkat tayangan internet.
Tulisan ini ikut mereviuw keprihatinan anda dalam menulis di internet, diharapkan menjadi sisi positif khusus penulis pemula. jika ada hal yang kurang baik dapat dikesampingkan karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT (Tuhan Yang Maha Esa). Saya merasa anda juga adalah seorang penulis, karenanya ada baiknya jika anda sepakat mengemban visi dan misi dakwah sesuai agama dan keyakinan kita masing-masing. Merupakan hal positif jika kita saling merangkul, saling sering dakwah, berpacu dalam hal kebaikan dan kebijakan. Perbedaan jangan dijadikan kambing hitam untuk dapat memfitamkan hidup dan hubungan. Perbedaan adalah karunia untuk saling mamahami dan mencari sisi positifnya. Jika perbedaan kerap anda pertajam, maka sama dengan merusak tatanan hidup pribadi. Yang paling penting untuk disikapi adalah bahwa kita tetap dalam tali persaudaraan yang mantap dalam naungan kebersamaan yang nyaman dan damai.
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sehubungan tulisan anda yang bejudul, Jangan beri nama Bali agar mudah bila pindah dari Hindu:
1. Anda memberi kesan menghina. Mecaling itu bahasa Bali artinya bertaring (bergigi tajam) adalah sebutan yang biasa dilontarkan peduduk setempat untuk melukiskan sosok mahluk yang punya gigi taring, seram bergigi tajam bagaikan pemakan mahluk (hewan). Sedangkan Khan itu kata akhir dari pertanyaan seperti “bukan?” disingkat “kan”, kemudian anda samarkan dengan menambahkan huruf “h” ditulis Khan seolah nama dari kebangsaan Negara tirai bambu.
2. Saya yakin dan percaya dengan masyarakat di Bali sekalipun mereka tinggal di desa terpencil (karena saya pribadi juga orang Bali asli. Lahir, besar dan lama bergaul dengan masyarakat Bali umumnya), saya faham betul dengan karakter dan kesantunan orang Bali, terlebih dengan pergaulan internasionalnya masyarakat seantero Bali tidak mungkin memberi nama seperti Ahmad Ketut Mecaling Khan dan Gusti Ayu Ketut Jegeg Mecaling. Ini hanya ungkapan marah anda dalam bentuk penegasan kekesalan dan kekecewaan berdimensi pribadi. Paradigma rasio dan irasional saat ini belum dapat anda terima sebagai realitas hidup.
Bagaimana dengan nama-nama Bali muslim lainnya seperti: H. Nyoman Abdul Jalil, Gede Abdullah, Ketut Jamaluddin, Hj. I Gusti Ayu Putu Arini, Nyoman Syamsuddin, Ida Bagus Oka Syahril, H. Anak Agung Ketut Jelantik, H. I Ketut Muteran, Hj. Ida Ayu Mas Muteran dan sebagainya. Atau bagaimana anda menyikapi penduduk Indonesia yang tadinya mayoritas non muslim kini menjadi mayoritas muslim??. Dan selajutnya akan seperti apa kita kemudian, semua itu masih teka-teki dan menjadi rahasia Illahi yang wajib kita terima dan wajib kita syukuri.Saya berpikir dan berdo’a mudah-mudahan anda sehat selalalu atas lindungan Yang Maha Kuasa (Allah SWT) menjadi cepat sepaham, hanya persoalan waktu, hal ini sudah terbukti sepanjang jaman. Amien…