Senin, 30 Mei 2011

FENOMENA DAN MAKNA : SENI BUDAYA ISLAMI DALAM KEHIDUPAN

Obyek seni budaya Islami pada manusia ada di dalam hatinurani. Setiap manusia atas Titah Yang Maha Kuasa dibekali hatinurani yang bersemayam di dalam karakter (jiwa). Hal itu dimaksudkan dengan dimenij hatinurani, karakter (jiwa) manusia sebagai misi khalifah dunia dapat mengemban tugas hidupnya dengan prima sesuai kodrat nilai-nilai akhlakul karimah.

Oleh karena itu nilai akhlakul karimah pada tiap manusia sebagai personal hidup tidak dapat dinafikkan dalam kehidupan. Selain merupakan tempat aplikasi bagi hatinurani, maka akhlakul karimah merupakan bekal untuk dibanggakan kepada seluruh kaum manusia bahwa dirinya dalam predikat “Amat Pantas Jadi Figur” manusia hidup. Hal itu oleh Allah SWT telah dibuktikan sejak awal diciptakannya alam semesta beserta isinya, dimana Allah SWT selalu memberi Risalah dengan mengutus para Nabi dan tokoh-tokoh pembaharu lainnya sebagai figur yang berakhlak terpuji nan mulia untuk diteladani demi tegaknya dunia dalam proses keseimbangan menuju keharmonisan.


Hatinurani itu suci, bersih bagai kilau dengan sinar bening terimplementasi berupa perilaku jujur, sopan santun, rendah hati, berjiwa hening, bersih, tenang, tegar, dinamis, bijak, tawakal dan bertanggungjawab. Oleh karena itu siapapun yang berbuat di luar batas noor hatinurani, dipastikan hatinya keluar dari cahaya noor (nurani), berjiwa kosong dari sumber luhur (Ketuhanan). Karakter hati seseorang yang semata berazaskan sinar noor (nurani) terbukti tidak pernah mengingkari atas sifat aslinya, karenanya orang yang suka melakukan perilaku di luar batas noor, hatinya “selalu saja memberi isyarat” berupa keragu-raguan, penuh pertimbangan, penolakan, tidak nyaman alias tidak pernah terima atas penipuan perilaku badaniah tanpa noor itu.


Hal seperti ini sangat dirasakan dan dipahami oleh setiap orang dalam hidup terutama oleh manusia dalam ukuran umur dewasa. Namun kenyataan masih banyak diantara kaum itu berbuat memaksakan diri tidak peduli atas peringatan, perintah dan kehendak hatinurani yang bersifat luhur itu.


Pengingkaran atas sifat asli hatinurani inilah hingga kini masih menjadi fenomena hidup, disinyalir sebagai ”pemicu” permasalahan yang marak terjadi belakangan ini. Ironisnya maraknya persoalan hidup terjadi ketika dunia tengah dihadapkan dengan dekadensi mutu moral, yang mewajibkan bahwa moral itu menjadi kunci pokok keberhasilan suatu bangsa di tengah persaingan ketat antar bangsa di dunia.


Kemerosotan moral tidak lepas dari bukti indeks pembangunan pendidikan nasional kita masih tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia. Dampaknya adalah semakin maraknya faham radikalisme saat ini. Sementara pengendalian terhadap diri agar tidak melakukan perilaku menyimpang oleh anggapan sebagian besar masyarakat hanya diusahakan dengan mengikuti pendidikan formal ketika masa sekolah dan sedikit saja di luar sekolah. Agar lebih bermutu diusahakanlah dengan mengikuti pendidikan tinggi yang hanya berpredikat pembinaan bermediakan ucapan, lisan dan tulisan. Padahal efektifitas keberhasilan suatu pendidikan selain berkriteriakan teori yang autentik bersifat padat dan jelas, maka harus mengacu pada system memberikan contoh (teori dan praktek harus berimbang) yang dapat ditiru. Dengan didesainkan bagian sikap (perilaku) yang bisa diteladani oleh setiap generasi penerus sejak awal pembentukan karakternya di dalam kandungan menyusul ke masa anak-anak, ramaja sampai menjadi dewasa.


Jika dikaji sesuai sifat fitrahnya hatinurani itu adalah amanah. Artinya pembentukan karakter dan mental manusia wajib dikembangkan secara komprehenshif. Diawali sejak menyatunya noor (cahaya nurani) itu dengan badaniah si jabang bayi pada saat di dalam kandungan ibunya. Pendidikan diterapkan atas azas kurativ (penerapan awal bersifat antisifasi) dan bukan prenventif (pencegahan setelah proses hidup). Adalah pase pembentukan lebih efektif dilakukan sebelum bayi itu lahir, sebelum hati (jiwanya) terkena akses luar (setelah lahir).


Sebagai usaha preventif pemerintah telah mengeluarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hal ini sesuai sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Setiap anak yang lahir dalam keadaan suci”, tergantung orangtuanyalah menjadikan anak itu yahudi, nasrani atau masusi (Bukhari Muslim).


Oleh karena itu ada hal mendasar perlu diikuti yakni memberikan sentuhan berupa sikap yang halus, penuh kelembutan dan kasih sayang sesuai tuntunan aqidah dan nilai syar’i (Islami). Hal ini menunjukkan betapa agungnya nilai Islami itu yang setelah dikemas ke dalam seni budaya bersifat alamiah (nature) mampu mengkemas pola sikap karakter manusia yang berhatinurani.

Diawali dengan merangsang pengembangan sifat bayi dalam kandungan yang amat dominan dengan potensi noor (sinar Illahiah) dengan rangsangan positif oleh ibu yang sedang mengandung, penuh penjiwaan lahiriah demikian pula oleh orang-oramg sekitarnya.


Rangsangan-rangsangan positif itu diharapkan mampu menggejalakan nilai bernuansa Illahiah yang ada di dalam diri si bayi hingga meresap merasuki jiwanya. Karenanya wajib dilakukan intensif sampai bayi itu lahir. Dengan konsistensitas tinggi diharapkan mampu mendarahdaging sebagai sarana pembentukan karakter insan berhatinurani yang memiliki daya kritis untuk memelihara akal sehatnya. “Dan hendaklah mereka takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka....... (an-Nisa’9).


Melalui pendidikan dalam kandungan diharapkan tetap eksis mempertahankan keluhuran nilai hatinurani sebagai pilter ketika anak-anak, remaja dan dewasa dapat mengolah seluruh akses yang mencoba berinteraksi mempengaruhi pembentukan karakter. Dalam posisi didominasi keluhuran diharapkan efek akses negatif mampu dikendalikan, terhindar akses mengotori jatidiri hatinurani. Hal ini terinspirasi ketika Rasulullah SAW menerima wahyu Tauhid di Gua Hira Makkah yang letaknya di gunung dan tempat-tempat lain seperti di Madinah, umumnya jauh dari akses keramaian. Demikian pula sikap tokoh pembawa dan pembaharu agama lain mengharapkan turunnya wahyu dengan cara selalu mencari tempat sepi, mengasingkan diri jauh ke dalam hutan belantara dalam usahanya mencari suasana sunyi senyap terbebas pengaruh keganasan ancaman sekitarnya.


Oleh karena itu para fakar psikolog di saat ini pun menyarankan agar mengedepankan tindakan (kuratif) jauh sebelum terkena akses negatif sebagai tindakan lebih efektif ketimbang tindakan preventif.

Dengan demikian bagi setiap yang akan lahir diharapkan telah memiliki noor kemaslahatan kahlifah dunia, untuk kelanggengannya diutuslah Rasul atau Nabi agar kehidupan dunia menjadi nyata-nyata indah dan bermanfaat.


Bagi Indonesia bangsa beragama, tentu hatinurani menjadi esensinya kehidupan berbangsa dan bernegara. Percikan halus sebagai fitrah yang bersifat jernih dan suci itu ibarat putih tanpa noda, tanpa coretan, adalah sarinya Rahmat untuk dipelihara dan dipertahankan nilainya sebagai pedoman hidup.


Oleh para ahli gizi pun kemudian menyarankan agar bayi sejak dalam rahim seorang ibu, pertumbuhan jasmani dan rohani (sifat karakternya) wajib mendapat perawatan berupa pembiasaan yang baik dan positif, pertumbuhan physiknya dirawat dengan makanan sehat dan bergizi.


Demikian pula setelah lahir penerapan tersebut tetap prioritas namun disesuaikan ke arah pengembangan keahlian (bakat) yang dimiliki. Tidak lupa dilakukan pendeteksian berkembangnya bakat-bakat baru akibat respons detail. Karena setiap kelahiran punya potensi (bakat) berbeda-beda, memerlukan ketekunan dan kecermatan menyikapi secara dini agar usaha pengembangan potensi bisa dilakukan maksimal sesuai dengan bakat yang dimiliki. Dari sejumlah potensi yang perlu dikembangkan memerlukan suatu ”budaya” (pembiasan) secara maksimal. Proses pembudayaan secara maksimal itu penting karena menjadi landasan potensi bakat untuk tetap melekat pada jiwa (nurani) setiap anak sehingga berwujud Karakter yang Berkeahlian Berbudayakan Nilai Islamiyah”.


Sehubungan dengan hal tersebut terkait upaya merilis siaran media publik berbasis budaya konten lokal pada setiap daerah seharusnya diawali dengan penataan kesiapan mental spiritual tiap personal, pembudayaan ibadah serta muamalah keluarga sebagai masyarakat terkecil yang akan mendesain awal setiap pertumbuhan dan perkembangan anak calon generasi pemimpin bangsa dan negara, setelah kemudian remaja dan dewasa terpelihara atas Risalah dan memelihara lingkungan sekitarnya.


Dengan demikian sejak bayi dalam kandungan kemudian lahir dan berkembang di masyarakat, menjalani kehidupan sebagai manusia selalu berpijak untuk eksistensi pembudayaan nilai-nilai Islamiyah yang memberi makna seni pada lini kehidupan :


1. Pada Era Teknologi Mutakhir misalnya; pembudayaan seni Islami itu akan terekspresi berupa hatinurani berwawasan luas, menumbuhkan dan memperbanyak kebijakan sehingga mempermudah urusan, mempermudah komunikasi, menyamakan persepsi untuk kemudahan hidup bersama.

2. Di bidang perekonomian, seni budaya Islami memancarkan sinar nuraninya untuk berbuat kesejahteraan hidup bersama, tidak ada penindasan terhadap ekonomi lemah, dapat memajukan pendidikan dan derajat kesehatan, jauh dari perbuatan materialistis, hedonisme dan kapitalisme. Rasa kemanusiaan menjadi semakin menebal, bebas kesenjangan sosial, hiba dengan penderitaan dan ketidakberdayaan. Sifat nurani tergetar untuk memberi solusi ke tahap hidup lebih baik.

3. Bidang-bidang lain seperti perikanan, peternakan, kehutanan, perkebunan dan sejenisnya, seni budaya Islami akan mengekspresikan diri dalam bentuk usaha untuk melestarikan seisi alam semesta, menggali, mengembangkan pemanfaatan lingkungan. Mensyukuri dan memanfaatkan apa yang kita miliki, diolah sesuai kemampuan dan kondisi daerah setempat. Hal itu akan menumbuhkan rasa jauh dari ketergantungan, rasa bangga dan percaya pada milik/kekayaan bangsa sendiri adalah senjata menjadikan bangsa Indonesia yang bermartabat. Diyakini bahwa usaha memaksakan diri di luar kemampuan bangsa sendiri adalah beban menjadi siksaan hidup. Hal itu sama dengan mengundi nasib bertentangan dengan tuntunan agama Islam.

4. Pada harta (kekayaan). Manusia sering tertipu karena haus harta (kekayaan), maka missi seni budaya Islami dapat berdakwah dan melalui performennya menginspirasi kehidupan yang sederhana, jujur, rendah hati, legowo, berusaha merubah kehidupan lebih baik, berkarya dengan nilai ibadah dan sebagainya.

5. Bagi kalangan ekonomi kelas atas, hidup bagaikan mahkota bertatahkan emas permata dapat meluluhkan hatinya, bermurah hati, bersikap bijaksana mengayomi dan memperjuangkan yang lemah menjadi lebih maju dan bermakna hidupnya. Sentuhan tahta mahkota dengan unsur seninya yang unik, alami, indah dan berkualitas, melahirkan rupa perhiasan yang indah, elok, berkilau nan rupawan itu mencerminkan pribadi mampu menggugah siapa saja untuk memiliki dan mengikutinya.

Rasa tergugah itu timbul karena dasar kecintaan terhadap seni budaya yang dapat menumbuhkan karakter indah, rapih, unik, ramah-tamah, lembut, sopan/santun.

6. Sebagai umat muslim eksistensi seni budaya Islami wajib mengacu kepada nilai tuntunan agama Islam. Sebagai contoh kegilaan untuk membeli emas permata yang selama ini dipandang sebagai kebanggaan dan kepuasan hidup semata. Hal itu bisa dijelaskan melalui performance seni budaya Islami tentang manfaat dan kegunaannya menurut pandangan agama Islam. Demikian pula manfaat dan peranan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan teknologi menjadi partisipasi yang bisa dijelaskan melalui eksistensi seni dan budaya Islami. Hal itu disebabkan melalui penampilan seni dan budaya Islami dapat mengukur secara nyata perilaku, keimanan dan ketaqwaan seseorang.


Dalam hal ini makna seni terhadap budaya hidup manusia sudah ada sejak awal kehidupan manusia diciptakan Allah SWT dengan tujuan agar budhi dalam hidup dapat diolah, dimanfaatkan sedemikian rupa untuk memperindah interaksi kehidupan antar manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia kepada pencipta-Nya.


Mengekspresikan budhi tanpa diolah dengan kekuatan seni hanya akan melahirkan sifat statis, masabodo, egois, pengkristalan nurani yang berujung sikap kekerasan. Oleh karena itu perlu tuntunan seni Islami sebagai takaran untuk mengolah hatinurani sebagai Qalbu hidup. Sifat seni itu untuk melenturkan, pengolah bentuk menjadi lebih luwes, elastis, dinamis lebih menarik, lebih indah, sehat, memberikan rasa aman dan nyaman.


(Ahmad Ketut Sulatra. Kasi HBI pada Direktorat Penerangan Agama Islam, Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI Jakarta).